pujangga berakal tiga
segores puisi menyerukan diri kagum beragam rupa
terhadap sekelebat bayang yang menyita perhatianku. . .
aku bukan mentari, rembulan atau bahkan bintang
mengapa kau selalu menjadi bayangku ?
mengagumi diriku ?
aku bukanlah sesuatu yang indah, sesuatu yang pantas tuk diikuti . . .
namun mengapa kau masih menemaniku ?
mengapa kau selalu menjadi bayangku ?
mengagumi diriku ?
aku bukanlah sesuatu yang indah, sesuatu yang pantas tuk diikuti . . .
namun mengapa kau masih menemaniku ?
bayang itu makin mengusik pikiranku
sampai dia masuk ke ruang pribadiku, ruang yang teramat pribadi
ya, bayang itu. . .bayang yang dulu selalu mengikutiku
menuliskan nama'a dengan tinta emas di seluruh dinding
hingga bayang yang fatamorgana menjadi realita
sampai dia masuk ke ruang pribadiku, ruang yang teramat pribadi
ya, bayang itu. . .bayang yang dulu selalu mengikutiku
menuliskan nama'a dengan tinta emas di seluruh dinding
hingga bayang yang fatamorgana menjadi realita
panas'a mentari, dingin'a malam, deras'a hujan, tak aku indahkan
karena bayang itu, tidak, realita itu, selalu menemaniku
Memang tak slalu seiya dan sekata
namun bermakna dalam kenangan . . .
karena bayang itu, tidak, realita itu, selalu menemaniku
Memang tak slalu seiya dan sekata
namun bermakna dalam kenangan . . .
lambat tapi pasti . . .
sanubari menari menjamah kata
indah lantunan sang detik
terucap kata, tersampai rasa
dari tutur lembut seorang wanita
seorang wanita dewasa nan hebat
dengan lantang dia berkata, "Akulah Winda"
sanubari menari menjamah kata
indah lantunan sang detik
terucap kata, tersampai rasa
dari tutur lembut seorang wanita
seorang wanita dewasa nan hebat
dengan lantang dia berkata, "Akulah Winda"
0 komentar:
Posting Komentar