Vonis bebas terhadap sekitar 40 orang terdakwa kasus korupsi di berbagai daerah, seperti Bandung, Samarinda, Surabaya dan Lampung setidaknya telah menjadi tamparan cukup keras terhadap KPK dan menimbulkan kekecewaan masyarakat. Wajar apabila akhir-akhir ini Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) menjadi sorotan masyarakat. Bahkan hingga timbul wacana untuk membubarkan Pengadilan Tipikor. Dampak lain dari hal ini, masyarakat umum dan beberapa tokoh setidaknya terbagi menjadi 2 pihak, yaitu pihak yang menginginkan pembubaran Pengadilan Tipikor daerah dan pihak yang tetap ingin mempertahankan Pengadilan Tipikor daerah.
Pihak yang menginginkan pembubaran Pengadilan Tipikor daerah menilai bahwa kinerja Pengadilan Tipikor daerah saat ini lebih buruk dari Pengadilan Umum. Pendapat mereka bisa dimaklumi, pasalnya kekecewaan mereka yang meluap dalam melihat kenyataan bebasnya para terdakwa kasus korupsi yang cukup banyak di Pengadilan Tipikor hampir dirasakan sama saja dengan yang ada di Pengadilan Umum, bahkan mereka menilai proses di Pengadilan Umum setingkat lebih baik. Penantian panjang masyarakat di daerah terhadap pemberantasan korupsi seakan runtuh karena prestasi Pengadilan Tipikor daerah tidak dapat menyamai prestasi Pengadilan Tipikor di Jakarta. Lain lagi dengan pihak yang tetap ingin mempertahankan Pengadilan Tipikor daerah, mereka menganggap bahwa Pengadilan Tipikor daerah masih sangat diperlukan, guna mengakomodir perkara korupsi di daerah. Adapula yang berpendapat agar Pengadilan Tipikor dipusatkan saja di Jakarta.
Indonesia, oleh sebagian kalangan, dikatakan sebagai negara demokrasi yang tentu didalamnya adalah wajar apabila terjadi perbedaan pendapat dan suka tidak suka kita harus menghargai perbedaan pendapat tersebut. Namun, dalam wacana pembubaran Pengadilan Tipikor daerah, bukanlah hal yang bijak jika kita terfokuskan kepada pembubaran lembaga ini. Mengingat apabila Pengadilan Tipikor daerah dibubarkan, maka akan menimbulkan penumpukan perkara di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sebagai Warga Negara Indonesia yang cerdas dan tidak mudah terprovokasi, lebih baik jika kita meninggalkan wacana pembubaran Pengadilan Tipikor daerah dan kita fokuskan kepada bagaimana cara lembaga dan pihak-pihak lain yang terkait didalamnya itu bekerja, serta cara untuk memperkuat Pengadilan Tipikor itu sendiri.
Sebelumnya, evaluasi terlebih dahulu terhadap hakim-hakim ad hoc Pengadilan Tipikor daerah. Mekanisme rekruitmen hakim tersebut menjadi persoalan. Proses rekruitmen yang bisa dibilang dilakukan secara singkat, serta proses seleksi yang juga dilakukan tanpa adanya konsep yang jelas, dan semata-mata hanya karena tuntutan undang-undang merupakan salah satu persoalan utama yang perlu diperbaiki. Mahkamah Agung harus segera mengambil sikap dan siap bertanggung jawab atas hal ini sebelum kekecewaan masyarakat semakin memuncak.
Proses persidangan yang panjang, pada akhirnya berujung pada vonis yang dijatuhkan hakim. Arti sempitnya adalah bahwa vonis bebas yang dijatuhkan, tidak boleh kita lihat sebagai ‘kesalahan’ yang dibuat hakim ad hoc semata. Sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan suatu jaringan kerja antara subsistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan yang berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan. Perlu diketahui bahwa penyidikan terhadap perkara tipikor dapat dilakukan oleh 3 (tiga) lembaga, yaitu penyidik dari Kepolisian, Kejaksaan serta dari KPK. Masyarakat hingga saat ini masih sangat mengagungkan penyidikan oleh KPK, karena hasil penyidikan yang valid dan menguatkan dakwaan JPU sehingga perkara korupsi akan diakhiri dengan putusan pemidanaan bagi pelaku. Lain sikap dengan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan yang dianggap tidak seimbang dan dianggap condong lebih memihak kepada terdakwa korupsi. Anggapan ini perlu diubah dengan pembuktian kinerja secara langsung oleh lembaga yang bersangkutan.
Kemampuan JPU dalam membuat dakwaan dan tuntutan perlu juga untuk ditingkatkan. Sehingga antara dakwaan dan tuntutan, dengan hasil penyidikan dapat terintegralisasikan. Yang setelah itu dijatuhkanlah vonis oleh hakim. Terlepas dari vonis bebas atau lepas bisa saja terjadi akibat 2 (dua) hal, yang pertama adalah sejak awal proses penyidikan sudah tidak valid sehingga hakim tidak menemukan kebenaran materiil di persidangan; Yang kedua, hasil penyidikan, dakwaan dan tuntutan sudah baik, namun hakimnya tidak memiliki integritas serta kemampuan hakim yang seharusnya dimiliki oleh hakim tipikor.
Hal yang telah disebutkan diatas, sedikitnya bisa kita fokuskan dan dievaluasi. Keberadaan Pengadilan Tipikor masih diperlukan. Namun yang lebih penting lagi adalah penyidik, penegak hukum harus memiliki visi dan integritas moral yang sama dalam menangani tindak pidana korupsi di wilayah hukumnya masing-masing. Sehingga tercipta masyarakat hukum yang diidam-idamkan.
0 komentar:
Posting Komentar